Ini bukan tag line film seri tahun 90-an tentang superhero dari Jepang, yang aktor utamanya ganteng banget, itu ya (ketahuan deh umurnya dah berapa, hihi). Cuma mau bilang kalau semua bisa berubah, yang gak berubah itu ya perubahan itu sendiri. Tanpa disadari, kita pasti berubah menjadi berbeda daripada kita jaman dahulu kala (semoga perubahannya menuju ke arah yang baik ya, amiiin).
Sekarang saya mau mengevaluasi apa saja yang sudah berubah dari saya dari dahulu sekarang sampai sekarang.
Yang dulunya masih anak-anak yang “unyu”, sekarang sudah siap menghasilkan anak (insya Allah)
Kalau yang ini, semua tahu ya yang namanya pertumbuhan gak mungkin berhenti. Apalagi dulu yang waktu kecil saya kan kurus dan putih (kata kedua orang tua saya), sekarang gemuk dan sawo matang. Tapi kan ada pepatah yang mengatakan: Tua itu pasti, tapi menjadi dewasa itu pilihan.
Yang dulunya belum berjilbab, tapi sekarang (insya Allah) sudah berjilbab
Yang ini pernah saya ceritakan di sini, jadi gak usah cerita panjang dan lebar lagi. Mudah-mudahan saya bisa tetap istiqomah, amiiiin ya rabbal ‘alamiiiin.
Yang dulunya masih single, sekarang sudah double (semoga segera triple atau kuartet (alias kembar –> ngarep) yak, amiiiin)
Mungkin dah bosen ya bacanya. Alhamdulillah tahun 2012 kemarin saya sudah melepas masa lajang saya dan tahun ini sudah setahun saya menjadi istri dari suami saya :D. Alhamdulillah yah sol sepatu sesuatu, hihi. Nanti kalau sudah jadi triple atau kuartet saya update lagi blognya, hehe.
Yang dulunya saya tomboy , sekarang (agak) feminin
Buat teman-teman yang dulu bergaul dengan saya pasti tahu saya yang tomboy, temannya cowok (walaupun ada sih sedikit teman cewek), gak pernah bisa pakai high heels, gak pernah pake rok (kecuali rok sekolah), sukanya musik metal dan cadas (tapi gak ada yang tahu kan kalo diem-diem dengerin lagu boyband 90-an), gak suka dandan. Kalau sekarang sih mulai (agak) feminin, mulai biasa pake rok, mulai koleksi wedges (bukan high heels, tetap gak bisa makenya kalo yg ini); walopun jarang juga makenya (I still love flatshoes), sekarang mulai suka dengerin lagu-lagu mellow, mulai punya banyak teman cewek, mulai bisa dandan (walaupun cuma bedak sama lipstik aja dan cuma waktu kondangan aja, haha).
Kalau soal teman, saya mulai membatasi punya teman cowok. Alasannya adalah takut cewek-cewek yang mau mendekati, atau sudah jadi pacarnya, jadi insecure kalau saya terlalu akrab sama cowok yang jadi teman saya itu. Sudah 2x teman saya yang ceweknya insecure karena kedekatan saya dan teman saya yang jadi pacarnya wanita itu. Entahlah dua atau berapa, saya lupa. Yang pertama (katanya sih) dulu teman saya yang pernah satu pondokan KKN dengan saya waktu itu putus dengan pacarnya setelah KKN kami berakhir. Katanya sih karena dia insecure dengan kedekatan saya dan teman saya itu. Padahal ya, saya dan teman saya itu gak ada hubungan apa-apa, itu sih bisa-bisanya teman-teman KKN saya saja. Karena kebetulan saja saya dan dia satu pondokan (rame-rame, gak cuma saya dan dia saja) dan sering ngobrol karena saya dan dia lumayan nyambung lah, jadi dikiranya saya dan teman saya itu “cinlok”. Baiklah sejak saat itu saya tidak akan macam-macam lagi dengan dia. Saya dan dia hanya bicara seperlunya saja. Saat saya ingin bicara dengan dia (biasanya karena ngomentari status bbm/twitter), atau ngucapin ulang tahun. Selebihnya ya nggak ada apa-apa.
Yang kedua awalnya kami ketemu di jejaring sosial “muka buku”, yang katanya ampuh banget menyambung silaturahmi dengan teman lama yang sudah lama gak ketemu. Seperti lagu band Gigi tentang jejaring sosial muka buku ini, saya ketemu salah satu teman SD saya yang sama sekali sama saya dulu gak kenal. Jadinya kan saya sok tahu aja gitu. Lama-lama ingatan saya tentang dia pun kembali dan akhirnya kami kontak lagi, tapi cuma lewat si mukabuku, sms, dan chatting. Belum pernah tuh namanya ketemu, tahunya pun cuma lewat foto. Setelah lebih kurang 2 bulan (kalau tidak salah), tiba-tiba dia kirim pesan kalau pacarnya (tepatnya HTS sih ya, katanya) minta biar saya hapus dia dari akun saya. Katanya sih HTSnya itu cemburu dengan saya. Yang saya heran baru jadi HTS aja sudah posesif begitu, bagaimana kalau jadi pacar/istrinya??? Tapi akhirnya saya mengalah, saya hapus dia dari pertemanan saya. Akhirnya setelah saya menghapus dia jadi teman saya, teman saya itu menghapus akun mukabukunya. Setelah lama gak kontak lewat mukabuku, saya sms dia waktu dia ulang tahun. Jangan salah sangka dulu ya, gak cuma dia yang saya beri sms ulang tahun. Sama semua teman saya pun begitu, kalau saya ingat. Waktu itu dia membalas dengan menelepon saya sambil mengucapkan terima kasih karena sudah ingat ulang tahunnya. Namun tahun kemarin saya sms dia, no.nya sudah tidak dipakai. Akhirnya saya benar-benar lost contact sama dia.
Dari kedua cerita di atas mungkin memberi saya pelajaran kalau berteman (sama lawan jenis tentunya) harus tahu batasannya. Saya maklum mungkin saya jadi ancaman terbesar bagi pacar teman-teman saya untuk menarik perhatian teman saya. Saya pun pasti akan cemburu bila suami saya terlalu akrab dengan teman wanitanya yang menjurus ke arah asmara, begitu juga dengan perasaan suami saya yang pasti marah kalau saya terlalu akrab dengan teman lelaki saya. Sebenarnya hal itu bisa diatasi dengan keterbukaan, kita cerita apa yang terjadi antara saya dan teman-teman saya, begitu juga suami dan teman-teman saya. Tapi untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak-tidak, mulai sekarang saya selalu membatasi pertemanan saya dengan pria-pria di sekeliling saya biar tidak ada yang tersakiti.
Yang dulunya gak bisa masak, sekarang lumayan lah ya
Alhamdulillah sekarang sudah bisa masak, setidaknya untuk saya dan suami saja, walaupun gak seenak masakan chef cantik ini. Untuk yang ini, ibu saya keras sekali dalam mengajari saya untuk masak. Alasannya karena saya berkromosom XX (bukan XXY yah, hihi), kodratnya seorang wanita itu harus oke dalam karier dan keluarga. Kalau pun punya pembantu, sebisa mungkin kita harus bisa mengatur pembantu. Jangan sampai pembantu yang mengatur kita. Bisa-bisa ntar ditipu lagi. Terus yang namanya hidup kan tidak selamanya senang. Jadi kita harus siap dengan kemungkinan terburuk. Kalau kita cuma bisa senang saja, padahal lagi susah, mana gak bisa masak, yang ada kita hanya bisa jajan terus di luar. Yang namanya jajan itu makanannya belum tentu bersih, belum tentu seenak masakan kita sendiri, porsinya belum tentu sesuai keinginan kita. Yang terpenting sih kita bisa ngirit banyak banget dibanding kalau kita sering jajan di luar, apalagi kalau semua serba mahal seperti pengalaman saya di Papua.
Semakin malam semakin ngelantur saja. Daripada keterusan curhatnya, saya akhiri saja tulisan saya sampai di sini.
Regards
Nadya